Malam ini sungguh
keramat dan harus bin wajib didokumentasikan. Tirai hitam mendadak ditarik dari ujungnya, pertanda pagelaran akan segera dimulai pemirsa.
Sebenarnya tidak
ada yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Hanya saja kurelakan mata ini
kupejamkan lebih lambat dari biasanya. Alibi pertamaku untuk sebuah novel karangan bang Andrea Hirata yang selalu
mebuatku melongo! Membaca novel karangan orang asli Belitong itu agaknya
seperti meniti sebuah jembatan tali. Pelan-pelan asalkan semuanya terlewati.
Untaian kalimat-kalimat bermakna genius dan jelas bukan keluar dari orang yang
sembarangan sangat klop dengan ambisiku untuk meniti kata demi kata tiap
mozaiknya.
Alibi keduaku,
karena malam itu terjadi sebuah perbincangan antara seorang cucu dengan
neneknya yang bercerita tentang sejarah keluarga. Ya, antara aku dengan eyang
putriku Eyang Yubingah. Jika aku tak salah melirik jam di dinding, dia berdetak
cantik dengan kedua jarumnya tepat di angka dua belas. Hem, rupanya sudah pukul
dua belas malam tapi kami belum juga terpejam, sebenarnya memang karena paksaan
dariku yang membuat eyang tak kunjung tertidur pula.
Replay. Kuingat
lagi perbincangan kami kemarin malam. Berawal dari petuah-petuah sang nenek
kepada cucunya seperti misalnya “Kamu yang sayang ya sama ibu, sayang sama
keluarga” atau “Kamu sekolah yang rajin ya, besok bisa cari kerja terus hidup
enak” bahkan sampai “Kamu kalau nyari pasangan ya cari bibit bebet bobot yang
bener, jangan asal-asalan. Pacaran sambil kuliah ya emang banyak, tapi asal
jangan kebablasan”. Contoh petuah yang terakhir ini menyentil sedikit lubuk
hatiku terdalam yang hingga kini belum juga mendapat jodohnya.
Petuah itu,
merembet seperti akar ubi jalar, menjalar menuju topik demi topik. Topik
pertama mengenai keberadaanku sebagai anak perempuan. Dan menjalar lagi menuju jumlah anak, kelahiran. Dan dari
situlah cahaya terang mulai bersinar. Eyang berdehem, tanda dimulainya
pertunjukan. Pagelaran kisah sejarah masa lampau yang menyimpan seribu kenangan
baginya. Beliau mulai bercerita, dan sebuah kenyataan pahit masa lampau
terungkap kembali seakan membuka peti sebuah harta karun dari dalam goa yang
sempit, pengap, lembab, dan gelap.
Eyang mengungkapkan
bahwa dulu dia pernah mengandung 2 anak sebelum Alm. Pak Dhe Tono(anak pertama
eyang yang berhasil hidup hingga dewasa). Sukma Handayani, bukan main nama
seorang perempuan yang terdengar lembut tapi gagah itu. Tapi, nasib perempuan
itu tidak seperti namanya, dia meninggal dalam usia dua tahun karena terjatuh
dari sebuah meja. Nada suara eyang mulai gemerasak itu menandakan beliau sudah
mulai merasakan sedih yang dulu pernah dialaminya. Sukma Handayani meninggal
seakan karena keteledeoran eyang yang tidak menjaganya dengan baik, begitu
sepertinya arti dari nada-nada bicara eyang yang mulai tak karuan. Jikalau anak
itu hidup, dialah Bude sekaligus kakak perempuan ibuku yang gagah tapi lembut
hatinya.
Kemudian di
kehamilan kedua, nasib eyang belum juga membaik. Kehamilan yang memasuki masa
dua bulan menurut cerita eyang sudah mulai bermasalah. Sering darah mengalir
deras dari rahimnya karena eyang yang terpeleset atau memang tiba-tiba darah
itu keluar dengan sendirinya. Eyang seakan masih bisa merasakan sakitnya
mengalami pendarahan saat hamil atau menjelang keguguran. Katanya, pinggangnya
sakit dan ngilu sekali, apalagi perutnya. Luar biasa tidak bisa dibayangkan
perjuangan seorang ibu rupanya. Nasib kehamilan kedua berakhir ketika eyang
merasakan ada sesuatu yang keluar dari rahimnya dan darah kembali mengalir
deras, beliau keguguran. Karena keguguran pada hari Kamis Manis, jadilah si
calon jabang bayi tersebut diberi nama si Manis. Tentu jangan kau coba-coba
menambahkan menjadi si Manis Jembatan Ancol. -,,-
Kelahiran
berikutnya tentu saja Pak Dhe Kushartono, awal kehamilan eyang juga sempat
mengalami permasalahan kehamilan tapi beliau berhasil melahirkan Pak Dhe dan
merawat hingga dewasa, namun kawan, Pak Dhe terserang tumor ganas di laringnya
beberapa tahun yang lalu dan penyakit itu merenggut nyawanya.
Tapi eyang rupanya
tidak berhenti berjuang sampai disitu, berturut-turut kemudian lahirlah Pak Dhe
Hermin Sutopo, kemudian keguguran lagi yang kali ini aku lupa namanya tapi
pasti tidak jauh dari Manis-Pahing-atau Kliwon. Agak ganjil namanya, tapi itu
berdasar pada sejarah jawa. Kemudian lahirlah Bude Sri Nurendah.
Kehamilan tampaknya
tidak lagi ada masalah pada kelahiran Bude Tuti Endang Harsiwiyati dan ibuku
Tri Herowati. Tapi lagi-lagi untuk kesekian kalinya kau hitunglah sendiri
kawan, eyang mengalami sedikit permasalahan pada saat kehamilan tanteku, Tri
Prastiwi kalau tidak salah namanya. Menurut cerita ibuku dan berdasar bukti
foto yang ada di album keluarga, tanteku itu cantik bukan main juga lemah
lembut perangainya. Tapi lagi-lagi naas menimpa eyang, karena tanteku terkena
penyakit kanker payudara di saat usianya sedang gemilang menjelang pernikahannya,
penyakit itupun menggerogoti tubuh tanteku sedikit demi sedikit, sampai
nyawanyapun tak lagi kuat menahan serangan ganas sel kankernya itu. Tanteku
yang tak sempat kukenal dan kulihat paras cantik wajahnya, meninggal dunia di
usia mudanya.
Si ragil dari
keluarga ibuku, om Kunto Aji Untung Widodo, awalnya namanya hanya Kunto Aji,
tapi bertambah Untung Widodo karena suatu sebab yang aku juga lupa. Hehe. Aku
sedikit menarik kesimpulan, pada keluarga ibuku, hanya ibuku perempun yang berhasil
memiliki keturunan. Dua kakak perempuan ibuku tidak berhasil memiliki keturunan
meskipun sudah bertahun-tahun menikah. Rupanya hal itu juga menimpa adik ibuku,
Om Kunto yang hingga kini usia 8 tahun pernikahannya belum berhasil memiliki
keturunan.
Sedikit informasi
kawan, kehamilan ibuku pun rupanya seringkali memiliki banyak permasalahan.
Seringkali Ibuku mengalami pendarahan sejak usia kehamilannya masih muda. Dan
itulah yang menyebabkan ibuku dilarang lagi memiliki keturunan setelah aku dan
adikku, karena rahimnya lemah. Padahal beliau berencana membuat tim voli yang
beranggotakan anak-anaknya (Ibuku salah satu atlet voli terbaik di jamannya
dulu).
Berpindahlah topik
lagi menuju para tetua. Eyang putriku, adalah putri pertama dari dua
bersaudara, adiknya bernama Mbah Kus. Namun, ibu eyangku atau disebut dengan
canggahku merupakan istri kedua dari Ayah Eyangku. Canggah kakung(putra) aku
bernama Mbah Martodihardjo, dan canggah putriku bernama Mbah Sudarmi. Nahlo,
bingung kan. Aku juga. Hahaha. Istri pertama Mbah Martodihardjo bernama Mbah
Bamin berhasil melahirkan anak dengan jumlah yang aku lupa. Hee
Sedangkan dari kubu
Eyang kakungku yang bernama lengkap Tugino Sajat Hardjosuwito lebih keren lagi.
Eyang kakungku anak terakhir dari 4 bersaudara. Nama ayah eyang kakungku adalah
Eyang Ngajaya! Yap, ini nih yang jadi penyebab nama belakang di keluarga Ibuku,
Wijayanti untuk anak perempuan dan
Wijayanto untuk anak lelaki. Tapi,
juga tidak semua cucu bernama belakang seperti itu. Yang aneh saat aku tanya
eyang putri, siapa nama ibu eyang kakung? Beliau menjawab dengan santai, “yaa..
Ibu Ngajaya, begitu katanya”. -,,- Eyang putri dengan wajah sangat polos dan
aku menahan tawa.
Dan perbincangan
terakhir adalah mengenai kenyataan bahwa dulu Eyang Kakung dan Eyang Putri
menikah atas dasar perjodohan kedua orang tuanya. What? Perjodohan tapi ko
anaknya bisa banyak? Perjodohan ko cintanya bisa bersemi sepanjang masa sampai
akhirnya Eyang Kakung meninggal dunia. Haha, ngga perlu melongo gitu kawan,
perjodohan di masa lalu itu kan biasa, lumrah banget! Dan kisah inilah
buktinya. Lalu bagaimana dengan jaman sekarang? Yah sayang sekali topik kali
ini bukan membahas perjodohan. Jadi kusarankan kalian pergi saja ke biro
perjodohan. Lho?!
Ya, malam itu,
seperti malam kebangkitan masa-masa lampau. Sisi kanan rumah eyangku yang
notabene adalah rumah eyangku jaman dulu itu sekarang jadi bangunan tua, rusak,
tidak diurus, dan hampir rata dengan tanah. Sedangkan di sisi kiri, mantan
rumah eyangku juga yang dulu aku sempat melihat bentuknya yang tua dan horor
itu, sekarang disulap menjadi garasi mobil. Tapi, malam itu juga seakan masa
lalu itu kembali lagi menemani malam kami, aku dan eyang putri.
Layar pun
berangsur-angsur meredup. Kedua tirai ditutup kembali. Pertunjukan malam
itu selesai.
Ini hanya sekedar
cerita, seharusnya aku menulis ini langsung saat aku sedang face to face dengan
eyang. Tapi itu tidak aku lakukan, dan alhasil banyak nama dan kejadian yang
sekarang aku...lupa. Padahal belum ada 3 hari berlalu. Gokil memang ingatanku
ini. Bahkan kami begadang sampai jam 2 pagi hanya untuk bercerita. Ah, menyesal
rasanya.
Its all about latar
belakang keluarga ibuku, ini kutulis sebagai catatan sejarah. Takut nanti
kegokilan ingatanku kumat. :D
23.11 26 Januari
2013
Diselesaikan di
malam minggu yang panjang. Kali ini masih ditemani alunan gamelan jawa radio
eyang dan ditambah alunan merdu suara mesin cuci (Bude Nunung lagi nyuci tengah
malam, entah ini jenis kerajinan dan ketekunan model apa).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar