history of herlandhi

history of herlandhi

Kamis, 14 Februari 2013

MALAM KERAMAT



Malam ini sungguh keramat dan harus bin wajib didokumentasikan. Tirai hitam mendadak ditarik dari ujungnya, pertanda pagelaran akan segera dimulai pemirsa.

Sebenarnya tidak ada yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Hanya saja kurelakan mata ini kupejamkan lebih lambat dari biasanya. Alibi pertamaku untuk sebuah  novel karangan bang Andrea Hirata yang selalu mebuatku melongo! Membaca novel karangan orang asli Belitong itu agaknya seperti meniti sebuah jembatan tali. Pelan-pelan asalkan semuanya terlewati. Untaian kalimat-kalimat bermakna genius dan jelas bukan keluar dari orang yang sembarangan sangat klop dengan ambisiku untuk meniti kata demi kata tiap mozaiknya.

Alibi keduaku, karena malam itu terjadi sebuah perbincangan antara seorang cucu dengan neneknya yang bercerita tentang sejarah keluarga. Ya, antara aku dengan eyang putriku Eyang Yubingah. Jika aku tak salah melirik jam di dinding, dia berdetak cantik dengan kedua jarumnya tepat di angka dua belas. Hem, rupanya sudah pukul dua belas malam tapi kami belum juga terpejam, sebenarnya memang karena paksaan dariku yang membuat eyang tak kunjung tertidur pula.


Replay. Kuingat lagi perbincangan kami kemarin malam. Berawal dari petuah-petuah sang nenek kepada cucunya seperti misalnya “Kamu yang sayang ya sama ibu, sayang sama keluarga” atau “Kamu sekolah yang rajin ya, besok bisa cari kerja terus hidup enak” bahkan sampai “Kamu kalau nyari pasangan ya cari bibit bebet bobot yang bener, jangan asal-asalan. Pacaran sambil kuliah ya emang banyak, tapi asal jangan kebablasan”. Contoh petuah yang terakhir ini menyentil sedikit lubuk hatiku terdalam yang hingga kini belum juga mendapat jodohnya.

Petuah itu, merembet seperti akar ubi jalar, menjalar menuju topik demi topik. Topik pertama mengenai keberadaanku sebagai anak perempuan. Dan menjalar lagi  menuju jumlah anak, kelahiran. Dan dari situlah cahaya terang mulai bersinar. Eyang berdehem, tanda dimulainya pertunjukan. Pagelaran kisah sejarah masa lampau yang menyimpan seribu kenangan baginya. Beliau mulai bercerita, dan sebuah kenyataan pahit masa lampau terungkap kembali seakan membuka peti sebuah harta karun dari dalam goa yang sempit, pengap, lembab, dan gelap. 

Eyang mengungkapkan bahwa dulu dia pernah mengandung 2 anak sebelum Alm. Pak Dhe Tono(anak pertama eyang yang berhasil hidup hingga dewasa). Sukma Handayani, bukan main nama seorang perempuan yang terdengar lembut tapi gagah itu. Tapi, nasib perempuan itu tidak seperti namanya, dia meninggal dalam usia dua tahun karena terjatuh dari sebuah meja. Nada suara eyang mulai gemerasak itu menandakan beliau sudah mulai merasakan sedih yang dulu pernah dialaminya. Sukma Handayani meninggal seakan karena keteledeoran eyang yang tidak menjaganya dengan baik, begitu sepertinya arti dari nada-nada bicara eyang yang mulai tak karuan. Jikalau anak itu hidup, dialah Bude sekaligus kakak perempuan ibuku yang gagah tapi lembut hatinya.

Kemudian di kehamilan kedua, nasib eyang belum juga membaik. Kehamilan yang memasuki masa dua bulan menurut cerita eyang sudah mulai bermasalah. Sering darah mengalir deras dari rahimnya karena eyang yang terpeleset atau memang tiba-tiba darah itu keluar dengan sendirinya. Eyang seakan masih bisa merasakan sakitnya mengalami pendarahan saat hamil atau menjelang keguguran. Katanya, pinggangnya sakit dan ngilu sekali, apalagi perutnya. Luar biasa tidak bisa dibayangkan perjuangan seorang ibu rupanya. Nasib kehamilan kedua berakhir ketika eyang merasakan ada sesuatu yang keluar dari rahimnya dan darah kembali mengalir deras, beliau keguguran. Karena keguguran pada hari Kamis Manis, jadilah si calon jabang bayi tersebut diberi nama si Manis. Tentu jangan kau coba-coba menambahkan menjadi si Manis Jembatan Ancol. -,,-

Kelahiran berikutnya tentu saja Pak Dhe Kushartono, awal kehamilan eyang juga sempat mengalami permasalahan kehamilan tapi beliau berhasil melahirkan Pak Dhe dan merawat hingga dewasa, namun kawan, Pak Dhe terserang tumor ganas di laringnya beberapa tahun yang lalu dan penyakit itu merenggut nyawanya.

Tapi eyang rupanya tidak berhenti berjuang sampai disitu, berturut-turut kemudian lahirlah Pak Dhe Hermin Sutopo, kemudian keguguran lagi yang kali ini aku lupa namanya tapi pasti tidak jauh dari Manis-Pahing-atau Kliwon. Agak ganjil namanya, tapi itu berdasar pada sejarah jawa. Kemudian lahirlah Bude Sri Nurendah. 

Kehamilan tampaknya tidak lagi ada masalah pada kelahiran Bude Tuti Endang Harsiwiyati dan ibuku Tri Herowati. Tapi lagi-lagi untuk kesekian kalinya kau hitunglah sendiri kawan, eyang mengalami sedikit permasalahan pada saat kehamilan tanteku, Tri Prastiwi kalau tidak salah namanya. Menurut cerita ibuku dan berdasar bukti foto yang ada di album keluarga, tanteku itu cantik bukan main juga lemah lembut perangainya. Tapi lagi-lagi naas menimpa eyang, karena tanteku terkena penyakit kanker payudara di saat usianya sedang gemilang menjelang pernikahannya, penyakit itupun menggerogoti tubuh tanteku sedikit demi sedikit, sampai nyawanyapun tak lagi kuat menahan serangan ganas sel kankernya itu. Tanteku yang tak sempat kukenal dan kulihat paras cantik wajahnya, meninggal dunia di usia mudanya.

Si ragil dari keluarga ibuku, om Kunto Aji Untung Widodo, awalnya namanya hanya Kunto Aji, tapi bertambah Untung Widodo karena suatu sebab yang aku juga lupa. Hehe. Aku sedikit menarik kesimpulan, pada keluarga ibuku, hanya ibuku perempun yang berhasil memiliki keturunan. Dua kakak perempuan ibuku tidak berhasil memiliki keturunan meskipun sudah bertahun-tahun menikah. Rupanya hal itu juga menimpa adik ibuku, Om Kunto yang hingga kini usia 8 tahun pernikahannya belum berhasil memiliki keturunan. 

Sedikit informasi kawan, kehamilan ibuku pun rupanya seringkali memiliki banyak permasalahan. Seringkali Ibuku mengalami pendarahan sejak usia kehamilannya masih muda. Dan itulah yang menyebabkan ibuku dilarang lagi memiliki keturunan setelah aku dan adikku, karena rahimnya lemah. Padahal beliau berencana membuat tim voli yang beranggotakan anak-anaknya (Ibuku salah satu atlet voli terbaik di jamannya dulu). 

Berpindahlah topik lagi menuju para tetua. Eyang putriku, adalah putri pertama dari dua bersaudara, adiknya bernama Mbah Kus. Namun, ibu eyangku atau disebut dengan canggahku merupakan istri kedua dari Ayah Eyangku. Canggah kakung(putra) aku bernama Mbah Martodihardjo, dan canggah putriku bernama Mbah Sudarmi. Nahlo, bingung kan. Aku juga. Hahaha. Istri pertama Mbah Martodihardjo bernama Mbah Bamin berhasil melahirkan anak dengan jumlah yang aku lupa. Hee

Sedangkan dari kubu Eyang kakungku yang bernama lengkap Tugino Sajat Hardjosuwito lebih keren lagi. Eyang kakungku anak terakhir dari 4 bersaudara. Nama ayah eyang kakungku adalah Eyang Ngajaya! Yap, ini nih yang jadi penyebab nama belakang di keluarga Ibuku, Wijayanti untuk anak perempuan dan Wijayanto untuk anak lelaki. Tapi, juga tidak semua cucu bernama belakang seperti itu. Yang aneh saat aku tanya eyang putri, siapa nama ibu eyang kakung? Beliau menjawab dengan santai, “yaa.. Ibu Ngajaya, begitu katanya”. -,,- Eyang putri dengan wajah sangat polos dan aku menahan tawa.

Dan perbincangan terakhir adalah mengenai kenyataan bahwa dulu Eyang Kakung dan Eyang Putri menikah atas dasar perjodohan kedua orang tuanya. What? Perjodohan tapi ko anaknya bisa banyak? Perjodohan ko cintanya bisa bersemi sepanjang masa sampai akhirnya Eyang Kakung meninggal dunia. Haha, ngga perlu melongo gitu kawan, perjodohan di masa lalu itu kan biasa, lumrah banget! Dan kisah inilah buktinya. Lalu bagaimana dengan jaman sekarang? Yah sayang sekali topik kali ini bukan membahas perjodohan. Jadi kusarankan kalian pergi saja ke biro perjodohan. Lho?!

Ya, malam itu, seperti malam kebangkitan masa-masa lampau. Sisi kanan rumah eyangku yang notabene adalah rumah eyangku jaman dulu itu sekarang jadi bangunan tua, rusak, tidak diurus, dan hampir rata dengan tanah. Sedangkan di sisi kiri, mantan rumah eyangku juga yang dulu aku sempat melihat bentuknya yang tua dan horor itu, sekarang disulap menjadi garasi mobil. Tapi, malam itu juga seakan masa lalu itu kembali lagi menemani malam kami, aku dan eyang putri.

Layar pun berangsur-angsur meredup. Kedua tirai ditutup kembali. Pertunjukan malam itu selesai.

Ini hanya sekedar cerita, seharusnya aku menulis ini langsung saat aku sedang face to face dengan eyang. Tapi itu tidak aku lakukan, dan alhasil banyak nama dan kejadian yang sekarang aku...lupa. Padahal belum ada 3 hari berlalu. Gokil memang ingatanku ini. Bahkan kami begadang sampai jam 2 pagi hanya untuk bercerita. Ah, menyesal rasanya.
Its all about latar belakang keluarga ibuku, ini kutulis sebagai catatan sejarah. Takut nanti kegokilan ingatanku kumat. :D
23.11 26 Januari 2013
Diselesaikan di malam minggu yang panjang. Kali ini masih ditemani alunan gamelan jawa radio eyang dan ditambah alunan merdu suara mesin cuci (Bude Nunung lagi nyuci tengah malam, entah ini jenis kerajinan dan ketekunan model apa).

Tidak ada komentar: